Khalifah
Umar bin Abdul Aziz seperti biasanya, rutin tiap tahun mengundang para
ulama dan para cendekiawan untuk datang ke istananya. Khalifah
mengadakan rutinitas tersebut bukan tanpa alasan, ia mengundang
orang-orang tersebut untuk meminta nasehat dan kritikan mengenai segala
hal entah itu mengenai pemerintahan maupun pribadinya. Salah satu
khalifah yang terkenal bijaksana dan dicintai rakyatnya itu tentu paham
apa makna dari nasehat dan kritikan yang akan diterimanya.
Maka berbondong-bondonglah ulama dan cendekiawan ke istana atas
undangan khalifah. Dan ketika di dalam istana satu persatu diantara
mereka bergiliran dan memberikan nasehat serta kritikan beragam kepada
khalifah.
Ada yang mengingatkan khalifah untuk terus-teruslah mengingat Allah,
ada yang mengingatkan untuk terus menuntut ilmu, dan nasehat-nasehat
lainnya yang tentu bersifat membangun baik untuk diri khalifah sendiri
maupun bagi rakyat umumnya.
Ketika undangan pemberi nasehat sudah hampir habis tiba-tiba saja
datang seorang anak kecil menghadap khalifah. Tanpa tedeng aling-aling
anak kecil tersebut lantas memberi nasehat kepada khalifah yang agung
tersebut, “Ya Khalifah yang dirahmati Allah, takutlah selalu kepada
Allah.”
Mendengar dirinya dinasehati oleh seorang anak kecil, muncullah
sifat manusiawi sang khalifah. Dengan nada tinggi khalifah tersebut
menjawab, “Siapa engkau gerangan anak kecil, berani-beraninya menasehati
khalifah seperti aku?”
Lantas dengan pembawaan tenang anak kecil tersebut menjawab, “Ya
khalifah yang dirahmati Allah…seandainya segala sesuatu dilihat dan
ditentukan dari segi usia, tentu ada yang lebih pantas menduduki
singgasana itu selain engkau!”
Mendapat jawaban tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersadarkan.
Ia lantas mencium kening anak tersebut dan mengucapkan istigfar atas
kelalaiannya.
Itulah pemimpin, itulah tauladan, itulah sosok yang benar-benar
pantas untuk kita agungkan sebagai manusia yang secara intelek maupun
karakter memang pantas menjadi seorang pemimpin. Bukan semacam para
politikus kita yang senang mengumbar dan berbalas kritikan yang bersifat
menjatuhkan dan mengalahkan. Bahkan dapat kita amati sendiri, bila
salah satu politikus dalam berdebat sudah mulai tersudut karena memang
argumentasi yang dikemukakannya begitu lemah, maka cara apapun akan ia
utarakan meski harus menggunakan argumentasi kusir. Maka, mulailah debat
kusir, debat berdasarkan subjektifitas dan asumsi belaka, bukan fakta.
Seorang ahli pendidikan mengatakan, pendidikan yang utama adalah
membentuk manusia yang berkarakter dan memiliki intelektual serta tubuh
yang sehat. Singkatnya, menyeimbangkan antara afektif, kognitif, dan
psikomotor. Pendapat ahli pendidikan yang menempatkan karakter di posisi
pertama itu sejalan dengan dengan cita-cita bangsa yang dapat kita
kutip dari syair lagu Indonesia Raya, yang juga lebih mengutamakan
pendidikan di bidang karakter lebih dahulu bukan intelek seperti dalam
kutipan syair berikut:
…Bangunlah jiwanya bangunlah badannya…
Bukan
...Bangunlah badannya bangunlah jiwanya…
Bukan pula syair kaum hedonisme, matrealisme, dan kaum pencitraan
yang melulu mementingkan intelek dan fisik belaka dengan melalaikan
karakter:
...Bangunlah badannya bangunlah badannya…
Para pemimpin kita, tentu adalah orang-orang yang tidak diragukan
kecerdasan dan pendidikan intelektualnya. Hal ini dibuktikan dengan
pendidikan mereka yang minimal Strata-1. Namun tentu saja cerdas
intelektual tidak cukup bila tanpa diikuti kecerdasan karakter. Hasilnya
dapat kita lihat sekarang, banyak sekali peminpin daerah yang menjadi
tersangka korupsi. Ironis. Barangkali sudah saatnya kita sekarang
mengutamakan pendidikan berkarakter. Agar Indonesia yang kita idamkan
sekain terwujud.
Dan syukurlah, saya mendengar pendidikan berkarakter tersebut sudah
diinstrusikan oleh presiden dan sudah masuk pula dalam konstitusi RI.
Tinggal pelaksanaan dan pematangannya.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/02/menerima-kritikan-sebagai-ciri-manusia-berkarakter/
Sabtu, 25 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar